KLIKJATIM.Com | Sumenep – Setelah menorehkan catatan manis pada 2024, masa depan tembakau Sumenep, Madura, kini berada di ambang ketidakpastian.
Tahun lalu, kabupaten paling timur di Pulau Madura ini mencatat produksi tertinggi dalam lima tahun terakhir, mencapai 11.309,88 ton dari 15.823 hektare lahan. Namun, kejayaan itu tampaknya tak bertahan lama.
Memasuki musim tanam 2025, luas areal tembakau diprediksi merosot hampir separuhnya, menyisakan sekitar 8.000 hektare saja. Penurunan drastis ini menjadi sinyal melemahnya kepercayaan petani terhadap stabilitas harga dan sistem tata niaga tembakau.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Sumenep, Chainur Rasyid, mengakui lonjakan produksi tahun 2024 merupakan efek dari optimisme petani yang sempat bangkit berkat harga jual yang menjanjikan serta dukungan teknis dari pemerintah daerah.
“Tahun lalu menjadi momentum kebangkitan. Petani menanam dalam skala luas karena harga bagus dan ada pendampingan intensif dari pemerintah,” ujar Chainur, Sabtu (1/11).
Ledakan produksi tersebut sempat menggairahkan perekonomian pedesaan. Buruh tani, sopir angkutan, hingga pedagang musiman ikut merasakan perputaran uang di sentra-sentra tembakau. Bahkan, gudang pabrikan menambah jam kerja hingga larut malam demi menampung hasil panen.
Namun, euforia itu tak berlangsung lama. Tahun ini, banyak petani mulai menahan diri untuk menanam kembali. Kekhawatiran akan turunnya harga dan ketidakpastian serapan pabrikan membuat sebagian beralih ke komoditas lain.
“Kalau harga melemah, mereka tak mau ambil risiko. Petani bukan spekulan,” tegas Chainur.
Produksi terbaik tahun lalu masih didominasi wilayah daratan seperti Guluk-Guluk, Pasongsongan, Ambunten, Ganding, dan Bluto, yang dikenal menghasilkan tembakau dengan aroma kuat dan daya bakar tinggi.
Sementara itu, daerah tadah hujan seperti Batang-Batang, Gapura, Dasuk, Rubaru, Lenteng, dan Manding menghadapi tantangan cuaca yang membuat mutu daun tembakau kurang stabil.
Kondisi ini mendapat sorotan serius dari anggota Komisi II DPRD Sumenep, Juhari. Ia menilai penurunan luas tanam harus dibaca sebagai sinyal bahaya bagi perekonomian lokal yang selama ini bertumpu pada tembakau.
“Ini peringatan keras. Jangan puas dengan data produksi tahun lalu. Petani mulai kehilangan harapan karena tak ada jaminan harga yang pasti,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu segera memastikan adanya mekanisme tata niaga yang adil serta komitmen pabrikan untuk menjaga harga beli.
“Petani kita bekerja dengan modal besar dan tenaga keras. Kalau harga tak dijamin, mereka akan meninggalkan tembakau,” tambah Juhari.
Ia juga mengingatkan, bila tren ini dibiarkan, dampaknya tak hanya dirasakan petani, tetapi juga buruh rajang, sopir, dan pedagang musiman yang menggantungkan hidup pada musim panen tembakau.
“Jika sektor ini jatuh, ekonomi desa ikut terpuruk. Pemerintah harus turun tangan, bukan sekadar menjadi penonton,” tegasnya.
Editor : Abdul Aziz Qomar