KLIKJATIM.Com | Sumenep - Petani garam di Kabupaten Sumenep, Madura, kini dihadapkan pada musim yang tak bersahabat dan harga jual yang kian sulit ditebak.
Ketidakpastian ini membuat mereka hanya bisa pasrah pada mekanisme pasar yang sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan dan tengkulak.
Moh Anwar, salah satu petani garam di Desa Pinggirpapas, Kecamatan Kalianget, menggambarkan kondisi tahun ini sebagai musim paling sulit dalam beberapa tahun terakhir. 
“Saya garap satu hektar dengan 12 petak, tapi yang benar-benar bisa produksi cuma tiga sampai empat. Sisanya cuma untuk proses pengolahan air,” ujar Anwar saat ditemui, Rabu (29/10).
Ia menjelaskan bahwa musim panen tahun ini mundur akibat kadar air yang rendah dan intensitas panas matahari yang tidak stabil. 
“Biasanya dalam sebulan bisa empat kali panen, hasilnya antara 10 sampai 20 ton. Sekarang lambat, apalagi sering mendung dan hujan,” tambahnya.
Kendati harga garam tahun ini tampak naik, keuntungan yang didapat petani tetap tidak menentu. 
“Kalau tahun kemarin cuma Rp700 per kilo, sekarang memang bisa sampai Rp2 juta per ton. Tapi percuma, cuaca tidak mendukung. Baru siap panen, tiba-tiba hujan,” tutur Anwar.
Hal senada disampaikan Paisol, petani garam lain di desa yang sama. Ia menilai petani tidak pernah punya ruang untuk ikut menentukan harga. Semua keputusan diambil oleh pihak perusahaan. 
“Kami tidak pernah tahu garam kami mau dijual ke industri atau konsumsi. Yang atur selalu pabrik, kami tinggal ikut saja,” keluhnya.
Kepala Desa Pinggirpapas, Abdul Hayat menegaskan, bahwa sekitar 70 persen warganya menggantungkan hidup dari garam. Namun, sebagian besar lahan yang mereka kelola bukan milik pribadi.
“Hanya sekitar 20 persen lahan garam yang benar-benar milik warga. Selebihnya itu milik PT Garam, tapi masyarakat yang mengelola,” ungkapnya.
Pria yang akrab disapa Ji Obet ini menambahkan, sampai hari ini tidak ada kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan harga bagi garam rakyat. 
“Harga sepenuhnya diserahkan ke pasar. Kalau jatuh, petani yang paling kena imbasnya,” katanya.
Masalah lain yang membelit petani adalah ketidakjelasan standar kualitas garam yang ditetapkan oleh perusahaan.
“Kadar natrium klorida (NaCl) yang diminta kadang tidak dijelaskan. Kalau dibilang kualitas rendah, kami juga tidak tahu dasarnya apa,” ujarnya.
Selain itu, perhatian dari perusahaan melalui program tanggung jawab sosial (CSR) juga dinilai minim. “Bantuan terakhir cuma geomembran, itu pun sudah lama. Dari pemerintah juga jarang ada bantuan,” sambungnya.
Ji Obet menilai, situasi ini membuat petani garam di Sumenep terus berada dalam lingkaran ketidakpastian. Mereka bekerja di bawah terik matahari, tetapi hasil dan harga tetap ditentukan pihak lain. 
“Petani hanya ingin kepastian: soal harga, kualitas, dan masa depan mereka sendiri,” tutupnya.
Editor : Abdul Aziz Qomar
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 