KLIKJATIM.Com | Sumenep – Di saat banyak daerah mulai kehilangan identitas budayanya akibat modernisasi, Sumenep justru tampil sebagai pengecualian. Kota di ujung timur Pulau Madura ini kembali menjadi sorotan nasional setelah para tokohnya dipercaya menempati posisi penting di kepengurusan pusat Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN).
Kepercayaan tersebut bukan muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari konsistensi masyarakat Sumenep dalam merawat nilai-nilai tradisi dan menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari.
“Bagi kami, adat bukan sekadar simbol masa lalu, tapi pedoman hidup,” ujar RBMS Hadi Pradipta Nataningrat, tokoh muda Sumenep yang kini menjabat Wakil Sekretaris Jenderal MAKN kepada Klikjatim, Kamis (30/10) sore.
Dalam jajaran pengurus MAKN, sejumlah figur dari Sumenep menempati peran strategis. Mereka adalah R. Ayu Yani Wage Sulistyowati S. Kuswodidjoyo (Sekjen), R. Harisandi Savari Pratalikrama, RB. Deny F. Suryoningprang, Helmi, S.PdI, serta RP. Agoes Irianto dan Soni Harsono yang aktif dalam revitalisasi keraton.
Keterlibatan mereka memperlihatkan bagaimana Sumenep tak hanya dikenal sebagai tanah keris dan istana tua, melainkan juga sebagai daerah yang melahirkan pemikir adat yang relevan dengan zaman.
“Sumenep menjadi contoh bahwa tradisi bisa berjalan seiring dengan kemajuan. Kuncinya ada pada kesadaran kolektif masyarakatnya,” tutur Hadi.
Kunjungan para pengurus MAKN ke Sumenep pada 27–29 Oktober 2025 lalu menjadi semacam “ziarah budaya”. Mereka tak hanya menghadiri peringatan hari jadi ke-756 Kabupaten Sumenep, tetapi juga menelusuri jejak sejarah ke berbagai situs penting, mulai dari Museum Sumenep, Asta Tinggi, Masjid Jamik, hingga desa pengrajin keris Aeng Tong-tong.
Bagi para pengurus MAKN, perjalanan itu bukan sekadar wisata, melainkan pertemuan antara masa lalu dan masa depan.
“Di Sumenep, kami belajar bahwa warisan budaya bisa terus hidup karena dirawat dengan hati,” kata Hadi dengan nada takzim.
Partisipasi tokoh-tokoh Sumenep dalam MAKN menandai kembalinya kepercayaan terhadap peran daerah ini sebagai penjaga moral dan adat Nusantara.
Dari tarian sakral Muang Sangkal yang kini diajarkan ke anak-anak hingga Topeng Madura yang kembali dipentaskan di sanggar-sanggar muda, semua menjadi sinyal bahwa Sumenep menolak tunduk pada arus seragam globalisasi.
“Harapan kami, generasi muda tetap punya akar. Budaya adalah rumah besar tempat kita pulang,” kata Hadi menutup perbincangan.
Bagi MAKN, kehadiran tokoh-tokoh dari Sumenep bukan hanya tambahan nama dalam struktur, tapi penegasan bahwa kota ini masih menyala sebagai lentera adat Nusantara. Di tengah geliat modernitas, Sumenep mengingatkan bahwa bangsa besar tak akan kehilangan arah selama masih setia pada akar budayanya sendiri.
Editor : Fatih