KLIKJATIM.Com | Jakarta--Pilkada serentak 2020 usai digelar. Sejumlah temuan menarik terungkap pasca dilangsungkan pesta demokrasi lima tahunan itu.
[irp]
Di antara temuan menarik itu adalah fakta bahwa money politik (politik uang) masih belum hilang pada praktik politik tanah air. Bahkan angkanya mencapai 36 persen. Artinya, pemilih pada pilkada 2020 yang digelar serentak di 270 wilayah itu 36 persen di antaranya memilih karena dipengaruhi oleh iming-iming uang.
Temuan tersebut berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 11–14 Desember 2020 sesaat begitu pesta demokrasi tersebut usai digelar di 270 wilayah di Indonesia.
Data survei tersebut dirilis hari Minggu (10/1/2021), melalui diskusi online/zoom, menghadirkan sejumlah nara sumber: Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan Ph.D, Prof. DR. Djohermansyah Djohan, MA (Guru Besar IPDN), Titi Anggraini, M.H (Dewan Pembina PERLUDEM), Burhanuddin Muhtadi, Ph.D (Peneliti Politik Uang) dan DR Rizka Halida (Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia).
Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI) Djayadi Hanan memaparkan, menjelang pilkada serentak 9 Desember 2020 lalu, cukup banyak pula warga yang mengaku mendapat tawaran uang atau barang (17 persen), atau mengetahui bahwa warga di lingkungan mereka mendapat tawaran tersebut (20 persen).
Dari yang mendapat tawaran, cukup banyak yang terpengaruh uang atau pemberian yang ditawarkan tersebut (36 persen), meskipun tidak mayoritas. Mereka yang mendapat tawaran terutama laki-laki, pemilih muda dan usia produktif, pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah,dan pemilih di pedesaan.
Menariknya, temuan tentang pelaporan politik uang oleh masyarakat. Terkait hal ini, mayoritas pemilih (lebih dari 85 persen) tidak tahu ada kanal pengaduan online jika terjadi politik uang. Dua yang cukup diketahui oleh mereka yang tahu (kurang dari 10 persen), yakni LAPOR! dan Saber Pungli. Hal ini menunjukkan masih sedikitnya sosialisasi cara melaporkan dugaan politik uang pada warga. “Selain itu, upaya untuk mendorong partisipasi warga dalam melaporkan juga perlu dilakukan karena intensitas warga untuk melaporkan cenderung rendah,’ tegas Djayadi Hanan.
Menurut Djayadi, secara umum, pengalaman politik uang warga cukup tinggi. Ada sekitar 30.8 persen warga yang pernah ditawari uang/barang untuk memilih partai atau anggota legislatif, 26.5 persen pernah ditawari uang/barang agar memilih capres/cawapres tertentu, 25.6 persen pernah ditawari uang/barang agar memilih calon gubernur tertentu, dan 27.1 persen pernah ditawari uang/barang agar memilih bupati/walikota tertentu.
“Hal ini menunjukkan bahwa baik di level sikap maupun tingkah laku, warga cukup toleran terhadap politik uang dan pernah mengalaminya pada berbagai tingkatan pemilu. Dengan demikian, upaya untuk menyosialisasikan pemilu tanpa politik uang masih harus terus dilakukan," tambah Djayadi Hanan.
Sementara itu menurut Prof. DR. Djohermansyah Djohan, MA (Guru Besar IPDN), Pilkada sangat penting untuk fondasi bagi praktik demokrasi nasional. Oleh sebab itu Pilkada harus dilaksanakan sebaik mungkin.
“Musuh Pilkada itu politik uang,” tegasnya.
Karena itu perbaikan-perbaikan format pelaksanaan Pilkada sangat mendesak dilakukan pemerintah juga legislatif. Temuan survei LSI ini bisa menjadi masukan berharga di tengah penyusunan UU Pilkada yang masih berlangsung. Termasuk soal format Pilkada yang asemetris/serentak itu. (hen)
Editor : Redaksi