Menanti Solusi Jitu Kebijakan BBM Bersubsidi

Reporter : Abdul Aziz Qomar - klikjatim.com

Ilustrasi - Pegawai melayani pengisian bahan bakar minyak di salah satu SPBU di Jakarta. ANTARA FOTO/Reno Esnir

KLIKJATIM.Com | Jakarta (Antara) – Kebijakan pemberian subsidi memang sudah lazim dijalankan oleh pemerintah suatu negara. Tujuannya membantu masyarakatnya agar lebih berdaya saing.

Sah-sah saja sebenarnya. Hanya saja, sering kali pemberian subsidi malah disalahgunakan atau penggunaannya menjadi tidak tepat sasaran.

Saat ini, Pemerintah tengah mengkaji setidaknya tiga skema penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) agar tepat sasaran dan tepat volume.

Skema pertama, mengalihkan seluruh anggaran subsidi BBM menjadi bantuan langsung tunai (BLT). Opsi kedua adalah kombinasi pemberian BLT dan subsidi BBM secara terbatas untuk transportasi umum dan fasilitas umum seperti rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah.

Adapun skema ketiga adalah melalui kenaikan harga BBM subsidi secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya.

Pemberian subsidi selama ini memang diakui salah sasaran. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam suatu kesempatan menyebutkan antara 20 persen hingga 30 persen alokasi subsidi BBM dan juga listrik tidak tepat sasaran. Nilainya cukup besar, pada 2024 ini diperkirakan mencapai Rp100 triliun.

Data Kementerian Keuangan juga mencatat subsidi bahan bakar minyak ternyata lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga mampu atau orang kaya.

Untuk BBM penugasan Pemerintah jenis Pertalite, tercatat sebanyak 86 persen dikonsumsi oleh rumah tangga dan 14 persen sisanya diserap oleh dunia usaha.

Dari porsi rumah tangga tersebut, sebanyak 80 persen ternyata dinikmati golongan mampu dan hanya 20 persen yang tepat sasaran atau dikonsumsi oleh golongan tidak mampu atau orang miskin.

Adapun untuk produk BBM subsidi jenis minyak Solar, sebanyak 89 persen dikonsumsi oleh dunia usaha dan 11 persen sisanya dinikmati oleh rumah tangga.

Lebih rinci lagi, dari segmen golongan rumah tangga penerima BBM subsidi jenis Solar tersebut, ternyata 95 persen dinikmati oleh rumah tangga mampu atau orang kaya dan hanya 5 persen saja, yang benar-benar dikonsumsi rumah tangga miskin seperti petani dan nelayan kecil.