MASJID sejatinya merupakan rumah ibadah bagi seluruh umat Islam tanpa sekat suku, budaya, maupun kelompok sosial tertentu. Karena itu, perubahan nama masjid yang menggunakan nama suku atau kelompok tertentu patut ditinjau ulang, terlebih ketika Keputusan tersebut merupakan hasil dari APBD Daerah.
Penamaan masjid yang seringkali kita temui merupakan pemilihan dari salah satu dari 99 asmaul husna yang ada, sebagai contoh: Masjid Ar-Rahman, Masjid As-Salam, atau biasanya menggunakan jika kita menelisik beberapa Masjid seringkali dinamai tokoh yang berpengaruh pada masa Penyebaran agama Islam seperti Masjid Wali Songo, Masjid Sunan Bonang, Masjid Sunan Bejagung.
Dari segi sejarah dan biografi tokoh penyebar Islam di sekitar masjid kuno juga telah menjadi kajian yang banyak ditulis orang. Namun, masih sedikit kajian yang memperhatikan permasalahan nama-nama masjid dan sejarah penamaannya. Terlebih lagi, kaitannya dengan lokasi dimana masjid itu berada. Melalui kajian awal perihal nama-nama masjid di nusantara dan sejarah yang melatabelakanginya dengan menggunakan kajian toponimi dan arkeologis kiranya kajian tentang nama atau penamaan bangunan dan aspek sejarah serta makna dan relasinya dengan lokasi ke depan makin meningkat dan mendalam.
Penggunaan nama suku pada masjid berpotensi menghadirkan kesan eksklusivitas. Meskipun tidak dimaksudkan demikian, simbol memiliki makna yang kuat. Nama masjid bukan sekadar identitas administratif, melainkan representasi nilai-nilai universal Islam yang menjunjung persaudaraan dan persatuan umat. Ketika nama masjid dikaitkan dengan satu kelompok tertentu, ada risiko munculnya perasaan tidak memiliki bagi jamaah dari latar belakang lain.
Keberadaan masjid juga diperuntukkan untuk menjadi ruang pemersatu, tempat seluruh umat merasa setara dan diterima. Dalam sejarah Islam, masjid didirikan sebagai pusat ibadah dan kehidupan sosial yang inklusif. Penamaan masjid umumnya menggunakan nama-nama yang mencerminkan nilai keislaman, tokoh agama, atau konsep universal yang dapat diterima oleh semua kalangan.
Alasan penghormatan terhadap kontribusi suatu suku atau kelompok dalam pembangunan masjid tidak dapat dijadikan pembenaran utama. Penghargaan terhadap peran masyarakat dapat diwujudkan melalui cara lain, seperti prasasti, dokumentasi sejarah, atau kegiatan peringatan, tanpa harus melekatkannya pada nama masjid.
Penamaan masjid dengan latar non islam paling terkenal Adalah Masjid Cheng-ho di Pandaan Pasuruan, namun dibangunnya Masjid ini bukan tanpa alasan karena dari awal sebelum dibangun masjid tersebut memang ditujukan untuk mengenang jasa salah satu tokoh muslim berdarah tionghoa, tak hanya Namanya namun bentuk arsitektur, baik dari segi bentuk atap maupun pilar. Masjid Muhammad Cheng Hoo Pasuruan sangat kental dengan nilai budaya.
Nilai budaya tersebut dapat dilihat dari desain bangunan yang menggunakan perpaduan antara tiga budaya yaitu budaya Jawa, budaya Islam, dan budaya Tionghoa. Jika menelisik dari studi kasus Masjid Cheng Ho dan apa yang terjadi di Bojonegoro, ini sangat kontras. Karena Masjid yang pada awalnya Bernama An-Nahda ini tidak memiliki unsur yang cukup untuk merepresentasikan Suku Samin. Baik dari segi Historis, maupun Arsitektural.
Lebih jauh, polemik yang muncul menunjukkan kurangnya sensitivitas terhadap kondisi sosial yang majemuk. Keputusan yang menyangkut simbol publik seharusnya diambil melalui musyawarah luas dan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi keharmonisan umat.
Oleh karena itu, perubahan nama masjid yang menggunakan nama suku atau kelompok tertentu sebaiknya ditinjau ulang. Masjid harus tetap berdiri sebagai simbol persatuan umat Islam, kurang tepat rasanya jika digunakan sebagai penanda identitas kelompok. Menjaga rasa memiliki Bersama sekaligus menyemai ukhuwah sendiri merupakan salah satu tujuan agama islam.
Fatkur Mu'in merupakan salah satu pegiat atau aktifis lawas yang konsen pada bidang akademsi
Editor : Wahyudi