KLIKJATIM.Com | Gresik – Layanan kesehatan di Kabupaten Gresik masih menyisakan problem, meski telah dinyatakan mencapai Universal Health Coverage atau UHC. UHC merupakan sistem penjaminan kesehatan yang memastikan setiap warga dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, bermutu dengan biaya terjangkau.
Di Indonesia, UHC diwujudkan melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Namun, pelaksanaan jaminan kesehatan di Kabupaten Gresik, masih ada problem, seperti skema layanan, rujukan dan tunggakan klaim oleh BPJS Kesehatan yang diajukan Rumah Sakit.
Problem atau masalah tersebut muncul dalam rapat kerja Komisi IV DPRD Gresik yang dihadiri pihak BPJS Kesehatan Kabupaten Gresik, Dinas Kesehatan Pemkab Gresik, Dinas Sosial, Dispendukcapil, pimpinan Rumah Sakit, dan Puskesmas, Senin 9 Desember 2024.
Soal tunggakan klaim ini, salah satunya dialami Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ibnu Sina Kabupaten Gresik. Direktur Utama RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik dr. Soni menyampaikan, hingga kini BPJS Kesehatan masih belum menyelesaikan klaim yang diajukan pihaknya untuk bulan Agustus, September, dan Oktober 2024 yang nilainya mencapai Rp11 miliar.
Soni bilang, kondisi ini membuat manajemen harus memutar otak mengatur keuangan Rumah Sakit.
“Untuk RSUD Ibnu Sina ini (kalau diibaratkan) tidak saja megap-megap, tapi sudah setengah mati. Kami ada klaim pending hampir Rp11 miliar, lalu ada pengembalian klaim sebesar Rp4,9 miliar,” papar Soni.
Padahal, sumber pendapatan RSUD Ibnu Sina ini komposisi terbesarnya berasal dari layanan BPJS Kesehatan yang mencapai 93 persen. Hanya 7 persen dari layanan umum dan klaim asuransi, sehingga persoalan klaim sangat berdampak terhadap kelangsungan layanan RSUD.
“(Di sisi lain) Kami ada tunggakan tagihan untuk vendor dan lain-lain 3 bulan. Hal ini mengharuskan kami membuat layanan umum,” beber Soni.
Terkait masalah skema layanan dan rujukan, dalam regulasinya terdapat 144 penyakit yang harus dilayani terlebih dahulu di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), yang terdiri dari puskesmas atau yang setara. Sementara kemampuan layanan puskesmas di Gresik tak sama.
Soni menjelaskan, tidak semua FKTP memiliki fasilitas sarana rawat inap sehingga dianjurkan untuk melakukan rujukan pasien ke puskesmas yang ada fasilitas rawat inap.
“Namun, dari puskesmas yang tidak ada fasilitas akhirnya merujuk ke RS,” tutur Soni.
Di Puskesmas Panceng misalnya, dalam menangani pasien demam berdarah dengue (DBD), pihak Puskesmas tak berani langsung merujuk ke rumah sakit meskipun trombosit pasien sudah di bawah 50 mcl.
Apabila pasien DBD dirujuk ke rumah sakit ketika sudah Dengue Shock Syndrome (DSS) akan terjadi masalah di jalan. Sedangkan jika ditangani di puskesmas, dengan trombosit di bawah 50.000 u/L dikawatirkan terjadi pendarahan spontan.
“Pernah Puskesmas Panceng merawat pasien dengan trombosit 26.000 u/L dengan kondisi pasien lemah. Akhirnya dipaksa dirujuk ke RSUD Ibnu Sina, namun perlu menunggu di IGD lebih dulu. Setelah menunggu di IGD, akhirnya pasien diterima untuk dirawat di RS tersebut,” terang Kepala Puskesmas Panceng dr. Mujtahidah.
Di tempat yang sama, Dirut RS Wates Husada (RSWH) dr Titin Ekowati mengatakan saat ini musim pancaroba, di mana kasus demam berdarah dengue cukup tinggi. Namun dengan adanya kebijakan tersebut, peserta JKN tidak bisa langsung dirawat atau rujuk ke Rumah Sakit.
“Misal di wilayah Balongpanggang, ada dua puskesmas yakni puskesmas Dapet dan Balongpanggang. Dari dua puskesmas itu, hanya Balongpanggang yang ada fasilitas rawat inap. Jika ada pasien demam berdarah dengue yang kami rawat, itu termasuk dari 144 yang tak bisa langsung dirujuk ke rumah sakit,” jelasnya.
Dengan penerapan kebijakan rujukan 144 penyakit tersebut yang tak bisa langsung dirujuk ke rumah sakit, mengakibatkan penurunan pendapatan.
“Tentu pendapatan kami menurun. Dari pembicaraan kami dengan pihak BPJS kesehatan, pasien bisa dirawat tapi dengan rawat jalan,” ungkap dokter yang juga koordinator Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) wilayah Pantura ini.
Dengan permasalahan tersebut, Ketua Komisi IV DPRD Gresik Zaifuddin memberikan batas waktu sepekan kepada Dinkes dan BPJS kesehatan untuk mencari solusi konkret.
“Persepsi harus sama, harus clear, komitmen juga harus sama. Permasalahan sudah mulai ada titik temu. Kami memberi tenggat waktu seminggu,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Gresik M. Syahrul Munir mengatakan, tujuan diskusi dengar pendapat ini adalah untuk memberikan kontribusi pelayanan kesehatan yang baik bagi warga Gresik. Dari dengar pendapat ini, ada semangat yang sama untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada, sehingga terbangun kesepahaman.
Syahrul meminta Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Gresik untuk melakukan inventarisir kebutuhan puskesmas, sehingga ke depan, kebutuhan sumber daya manusia (SDM) bisa teratasi, beserta sarana penunjangnya.
“Ya untuk jangka pendek, klaim pending BPJS kesehatan harus segera diselesaikan. Harus ada hitam diatas putih, karena ini multi tafsir. Sehingga bisa menjadi panduan bagi Dinkes dan juga rumah sakit, sehingga bisa beres dan jelas,” ujarnya.
Terkait ketentuan rujukan dan alur layanan, Kepala Kantor BPJS Kesehatan Cabang Gresik, Janoe Tegoeh Prasetijo, menjelaskan alur pelayanan Program Jaminan Kesehatan Nasional (Program JKN) harus melalui Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Namun, dalam kondisi gawat darurat peserta dapat langsung melakukan pemeriksaan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Lantas kondisi seperti apa yang termasuk dalam kategori kegawatdaruratan?
“Pelayanan kegawatdaruratan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan harus memenuhi kriteria kegawatdaruratan seperti mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain atau lingkungan kemudian adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Selain itu, kondisi dengan penurunan kesadaran, kondisi dengan gangguan hemodinamik serta kondisi yang memerlukan tindakan segera,” terang Janoe.
Janoe menegaskan bahwa kondisi gawat daurat ditentukan oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang merujuk pada ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan dimaksud. Jadi kondisi gawat bukan berdasarkan asumsi dari peserta.
“BPJS Kesehatan melalui Program JKN bertanggungjawab memberikan penjaminan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang telah terdaftar sebagai peserta aktif JKN. Seluruh jenis pelayanan kesehatan peserta akan dijamin oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan indikasi medis, ketentuan, dan prosedur yang berlaku,” ujar Janoe.
Lebih lanjut, Janoe menerangkan bahwa terdapat 144 diagnosa penyakit yang harus diselesaikan di FKTP. Apabila terdapat indikasi medis untuk pemeriksaan lanjutan maka petugas medis akan memberikan rujukan ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
“Betul, jika tidak termasuk dalam kriteria diagnosa yang telah ditetapkan tersebut atau memerlukan tindakan spesialistik maka peserta akan diberikan rujukan oleh FKTP ke FKRTL. Dan rujukan tersebut berdasarkan indikasi medis, bukan Atas Permintaan Sendiri (APS),” sebut Janoe.
Janoe menyatakan dokter atau petugas di FKTP merupakan tenaga medis berkompeten sehingga lebih mengetahui tindakan yang dibutuhkan untuk peserta. Selain itu, sistem rujukan berjenjang dilakukan dengan tujuan memberikan kemudahan kepada peserta dalam mengakses fasilitas kesehatan, dimana lokasi FKTP cenderung lebih dekat dengan rumah peserta dibandingkan dengan FKRTL.
“Oleh karena itu, peserta dapat memilih sendiri FKTP yang dekat dengan tempat tinggal. Hal tersebut dilakukan agar peserta dapat ditangani dengan cepat saat membutuhkan akses pelayanan kesehatan,” papar Janoe.
Ditambahkan Dodik perwakilan BPJS Kesehatan Gresik, bahwa berkaitan dengan klaim pending pihaknya sudah berupaya mengurai satu persatu persoalan baik dengan Dinas Kesehatan Gresik maupun rumah sakit.
“Untuk pelayanan Agustus hingga November kami memang melakukan klaim pending secara general. Dalam arti pelayanan non spesialistik rumah sakit di mana kita menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Dodik.
Pada kesempatan yang sama Sekretaris Komisi IV DPRD Kabupaten Gresik Jumanto memberikan pujian atas layanan yang diberikan BPJS Kesehatan. Menurutnya, pelayanan kesehatan di Kabupaten Gresik semakin merata.
“BPJS Kesehatan perlu diapresiasi karena telah menyelenggarakan Program JKN dengan sangat baik. Terlebih dalam hal pelaksanaan Universal Health Coverage (UHC). BPJS Kesehatan telah memberikan fast response jika terdapat masyarakat Kabupaten Gresik yang belum aktif kepesertaannya atau belum pernah terdaftar sama sekali. Dengan begitu, layanan BPJS Kesehatan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat di Kabupaten Gresik,” kata Jumanto.
Sebagai informasi, Pemerintah Kabupaten Gresik telah memberikan dukungannya terhadap penyelenggaraan Program JKN melalui Program UHC sejak 1 Oktober 2022. Sampai dengan 1 Desember 2024, kepesertaan JKN mencapai 101,06% atau 1.323.065 jiwa.
Adapun rinciannya terdiri dari 276.776 jiwa peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah Pemerintah Daerah (PBPU Pemda), 518.079 jiwa peserta segmen Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK), 21.407 jiwa peserta segmen Bukan Pekerja (BP), 142.851 jiwa peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), dan 206.436 jiwa pesera segmen Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU BU). (qom)