KLIKJATIM.Com | Gresik – Pembahasan dua rancangan peraturan daerah (Ranperda) strategis oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Gresik menuai banyak catatan dari tim ahli perguruan tinggi pendamping, yakni Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Brawijaya (Unbraw).
Kedua ranperda tersebut masing-masing adalah Ranperda tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah pada Perseroda Gresik Migas dan Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) Pemerintah Kabupaten Gresik.
Ketua Bapemperda DPRD Gresik, H. Khoirul Huda, S.Ag, mengungkapkan bahwa banyak masukan dari tim ahli yang perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah sebelum pembahasan berlanjut.
“Catatannya dari tim ahli sangat banyak yang harus dijawab oleh pemerintah daerah. Misalnya, feasibility study (FS) seperti apa, rencana bisnis (renbis) seperti apa. Ini jadi catatan yang harus dijawab oleh pemerintah,” ujar Khoirul Huda seusai rapat bersama tim ahli, Kamis (30/10/2025).
Huda menambahkan, kedua ranperda tersebut merupakan usulan pemerintah daerah pasca penetapan empat ranperda yang akan dibahas panitia khusus (Pansus) DPRD Gresik pada Desember 2025 mendatang.
“Dalam tata tertib DPRD Gresik diatur bahwa pembahasan ranperda bisa melalui pansus atau badan. Pimpinan DPRD mengamanatkan kepada Bapemperda untuk membahasnya,” jelasnya.
Menurut Huda, alasan pembahasan dilakukan oleh Bapemperda juga karena faktor waktu. Banyak tahapan yang harus dilalui hingga ranperda disahkan menjadi perda, sementara waktu pembahasan cukup terbatas.
“Di satu sisi, sudah ada penganggaran di APBD 2025 sebesar Rp7 miliar untuk penyertaan modal PT Gresik Migas (Perseroda). Padahal sejak awal tahun kami sudah mengingatkan agar segera diajukan, tapi tidak segera ditindaklanjuti,” tegasnya.
Senada dengan Huda, anggota Bapemperda DPRD Gresik H. Syaichu Busyiri juga menyoroti pentingnya transparansi dan kelayakan investasi sebelum penyertaan modal dilakukan.
“Harus jelas dulu return of investment (ROI)-nya, supaya bisa dihitung perbandingan antara keuntungan bersih dan biaya investasi. Business plan juga harus disetujui terlebih dahulu. Dari dulu tidak pernah ada itu setiap penyertaan modal,” ujarnya.
Syaichu menegaskan bahwa perlakuan terhadap Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak bisa disamakan dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Semua perencanaan penyertaan modal dan penggunaannya harus transparan serta menghasilkan keuntungan yang terukur.
“Kalau keuntungan digunakan kembali untuk pengembangan bisnis dan belum disetor ke kas daerah, itu tak masalah, asalkan jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” tandasnya.
Selain itu, Syaichu juga memberi perhatian khusus terhadap Ranperda Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan BMD. Ia menilai pemerintah daerah perlu memiliki strategi peningkatan nilai aset daerah agar tidak ada aset yang menganggur.
“Misalnya lahan milik pemerintah yang kosong harus dioptimalkan. Buat akses jalan, fasilitas pendukung, dan tetapkan tarif sewa berdasarkan appraisal akuntan publik melalui peraturan bupati,” terangnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah daerah mengupayakan pengalihan aset milik pemerintah pusat, provinsi, atau BUMN yang tidak terpakai menjadi milik daerah.
“Kalau perda ini disahkan, maka pemerintah daerah punya dasar hukum untuk melakukan bargaining ke pemerintah pusat, provinsi, maupun BUMN,” pungkasnya.
Editor : Abdul Aziz Qomar