Oleh: Surokim Abdus Salam
Dosen Komunikasi Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan UTM, Peneliti Senior SSC
Pertumbuhan pemilih rasional Indonesia kian signifikan, dan hal itu merubah perilaku memilih secara drastis dalam pemilu ke depan. Perubahan itu kian mengukuhkan bahwa logika elit dan kekuasaan harus selalu berselaras dengan logika publik.
Intinya partai-partai harus pintar menjaga perasaan publik agar senantiasa satu frekuensi.
Konsekuensinya, kian vulgarnya akomodasi kepentingan partai-partai melalui berbagi kekuasaan tanpa bisa menjelaskan secara memadai kepada publik, maka potensial akan selalu menjadi tanda tanya publik.
Hal itu akan mempengaruhi citra koalisi sebagai tempat mencari aman dan perlindungan. Apalagi dalam pemilu langsung sering tidak linier antara logika partai dan logika voters. Jadi menjadi tugas berat sesungguhnya untuk menjaga logika publik terkait bagi-bagi kekuasaan tersebut.
Sejauh ini jika mencermati PDIP nampak sangat berhati-hati dan terlihat tidak agresif dalam membangun koalisi sehingga kemungkinan akan menjadi koalisi ramping dan tentu akan berhadapan dengan koalisi lain yang kemungkinan akan lebih gemuk. Ini tentu akan menjadi test case lagi.
Bila mencermati pilkada, sejauh ini memang juga belum ada jaminan bahwa koalisi gemuk akan lebih mudah memenangkan kontestasi, bahkan sering yang ramping bisa menang.
Karena sesungguhnya koalisi itu tugas utamanya ya mengantarkan saja pada kandidasi pencapresan, selebihnya itu akan menjadi daulat publik voters Indonesia yang menentukan.
Apalagi sejauh ini kontribusi pemilih loyal juga sangat gradatif diantara 5% hingga 30% pemilih loyal dan tidak selalu linier dengan voters.
Di sinilah pentingnya menjaga perasaan voters Indonesia dan bagi koalisi gemuk tentu tidak boleh jumawa. PDIP tidak boleh berkecil hati, sepanjang bisa membangun frekuensi yang linier dengan voters tentu masih akan kompetitif. Koalisi yang sesungguhnya adalah koalisi bersama rakyat pemilih Indonesia. (qom)
Editor : Redaksi