KLIKJATIM.Com | Ponorogo - Pernikahan antara warga Desa Sedah dan Desa Pintu, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, konon pantang untuk dilakukan. Sebab ada cerita turun menurun yang masih dipegang teguh oleh warga di 2 desa tersebut.
Cerita apa? Berikut ulasan klikjatim.com dari hasil wawancara bersama salah satu tokoh masyarakat di wilayah setempat.
Kepala Dusun Ngadiro, Imam Basuki mengatakan, cerita ini berawal dari tentang keinginan seorang jejaka berasal dari daerah Ngadiro, Setrowijoyo. Sosok jejaka ini ingin menikahi seorang putri cantik dari Desa Sedah bernama Sri Tanjung.
Namun, bapak dari Sri Tanjung yang bernama Bhatara Warno tidak merestui. Karena Setrowijoyo diceritakan sebagai orang yang sangat pemarah, kejam dan keras.
"Ketika anak gadisnya dilamar oleh Setrowijoyo, Bhatara Warno tidak suka dengan wataknya dan tidak ingin anak gadisnya dinikahi olehnya (Setrowijoyo), tetapi tidak berani menolak lamaran tersebut karena merasa kalah kesaktian," urainya.
Untuk itu, Bhatara Warno memberikan syarat pitu (tujuh) yang dirasa cukup memberatkan bagi Setrowijoyo. Syaratnya adalah minta dibuatkan taman suruh dan taman suruh tersebut diapit oleh dua buah gunung. Kemudian minta dibuatkan lumpang dan alu, minta payung temanten, serta minta paku untuk memaku gunung.
"Apabila ketujuh syarat terpenuhi dalam waktu semalam, maka Setrowijoyo boleh menikahi Sri Tanjung. Karena begitu tergila-gila pada Sri Tanjung, syarat yang begitu berat disanggupi," ceritanya.
Setrowijoyo pun menyanggupi untuk memenuhi persyaratan itu. Lalu, Setrowijoyo memanggil bangsa jin untuk dimintai bantuan agar menyelesaikan ketujuh syarat tersebut. Dan benar, keesokan harinya ketujuh syarat itu bisa terpenuhi dan selesai.
Setrowijoyo akhirnya memberi kabar ke Bhatara Warno bahwa ketujuh syarat itu sudah selesai dipenuhi. Kemudian datanglah Bhatara Warno diiringi dengan keluarga dan tetangganya untuk meneliti satu per satu ketujuh syarat tersebut.
Tapi Bhatara Warno mengatakan, bahwa ini hanyalah permainan anak kecil saja. Karena hanya terbuat dari batu.
Merasa dipermalukan, maka Setrowijoyo marah dan menanyakan sekali lagi terkait boleh tidaknya anaknya dinikahi. "Bhatara warno menjawab untuk menanyakan sendiri pada Sri Tanjung," jelasnya.
Namun Sri Tanjung tidak ada jawaban. Maka, Setrowijoyo pun marah. Berubahlah Sri Tanjung menjadi batu dan dibuang ke wilayah Gunung Gawe. Alu, payung, dan lainnya dibuang semua. Payung dan paku dibuang digunung, kemudian dikenal dengan gunung sepaku.
Sedangkan Bhatara Warno sendiri ngrigi sukmo hilang dan tidak bisa kembali. Kemudian mati dan disusul oleh Setrowijoyo.
"Dari kisah itu antara warga Desa Pintu dan Desa Sedah tidak bisa bersatu," terang Basuki.
Bahkan, lanjut Basuki, pernah ada satu contoh yang nekat menikah. Tapi akhirnya mereka bercerai. "Ada satu pasangan itu saja yang berani. Lainnya ndak ada," pungkasnya.
Entah, di balik kisah ini terkait pantangan menikah antara warga Desa Sedah dan Desa Pintu merupakan fakta atau mitos? Yang jelas, dalam undang-undang perkawinan Republik Indonesia tidak melarangnya.
Berikut larangan yang disebutkan dalam UU Perkawinan dari hasil penelusuran klikjatim.com, Kamis (20/1/2022).
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. (nul)
Editor : Fauzy Ahmad