KLIKJATIM.Com | Surabaya - Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Abdul Ghoni Mukhlas Ni'am mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut kasus tanah oloran di pesisir Pantai Kenjeran. Pasalnya, pengurukan atau reklamasi yang disertai dugaan jual beli tersebut sarat masalah hukum.
Apalagi dalam peristiwa ini bisa menimbulkan kerugian negara dan banyak korban. "Negara kita kan negara hukum dan kasusnya juga sudah jelas menyalahi perda nomor 1 tahun 2018, ya pidana. Jadi hukum itu tidak boleh tebang pilih, harus tajam ke atas dan ke bawah," tandas Ghoni di Surabaya, Rabu (4/11/2019) malam.
Dijelaskannya, proses pengurukan pantai atau reklamasi harus mengantongi izin dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Ketentuan itu sesuai Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K).
[irp]
’’Jika tidak (mengantongi izin, red), maka kondisi yang ada di sana itu illegal. Apalagi ada dugaan jual beli, bisa masuk pidana itu,” tegas politisi dari PDIP tersebut.
Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Baktiono juga menegaskan, bahwa praktik reklamasi di pesisir Pantai Kenjeran adalah ilegal. Karena belum mempunyai izin dari Gubernur Jawa Timur.
"Dalam perda nomor 1 tahun 2018 sudah disebutkan, bahwa setiap kegiatan reklamasi harus seizin Gubernur Jatim yang mempunyai wewenang 12 mil dari bibir pantai," terangnya.
Berdasarkan penelusuran Klik Jatim, larangan aktifitas reklamasi dengan sembarangan diatur dalam bagian ketiga pasal 76 Perda 1/2018. Antara lain melarang semua orang memanfaatkan ruang laut yang tidak sesuai peraturan dan perizinan.
[irp]
Pelaku reklamasi juga dilarang mengalihkan izin kepada pihak lain. Selain itu juga tidak boleh memanfaatkan ruang di kawasan konservasi, kecuali ditentukan perundang-undangan dan perda.
"Jika hal tersebut sampai dilanggar, maka ancamannya pidana," lanjutnya.
Hal itu diatur dalam Bab XV Ketentuan Pidana pasal 96. Yaitu, setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 dipidana kurungan, dan/atau denda sesuai peraturan perundang-undangan. (nk/roh)
Editor : Redaksi