klikjatim.com skyscraper
klikjatim.com skyscraper

Tudingan PT Smelting Melanggar HAM Bekas Karyawannya Dinilai Tidak Masuk Akal

avatar Abdul Aziz Qomar
  • URL berhasil dicopy

KLIKJATIM.ComGresik — Tudingan pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) kerap kali disematkan kepada perusahaan dalam sengketa hubungan industrial dengan karyawan. Seringkali dalam benak publik, Perusahaan/Pabrik ditempatkan dalam posisi pihak yang kuat, sementara karyawan/pekerja dalam posisi lemah. Tak terkecuali yang dialami PT Smelting dalam sengketa hubungan industrial dengan bekas karyawan beberapa tahun lalu.

[irp]

Kuasa Hukum PT Smelting, Hamdani menuturkan, bila perusahaannya kerap dituduh melanggar HAM oleh bekas karyawannya selama sengketa dan pasca sengketa berlangsung.

"Padahal segala proses hukum sudah kami lalui sampai inkrah," ujarnya kepada Klikjatim.com (25/03/2021).

Hamdani mengaku PT Smelting telah berkonsultasi dengan salah satu ahli hukum HAM. Ia pun menyitir ahli hukum HAM yang beberapa waktu lalu pendapatnya dimuat di salah satu media massa cetak, menyebut Jika seluruh mekanisme hukum telah ditempuh (inkracht), namun buruh dan/atau serikat pekerja tetap tidak terima, apakah perusahan yang semula menjadi pelaku dapat beralih statusnya sebagai korban? 

"Ya, ketika intensi, maksud dan kehendak buruh didasari oleh itikad tidak baik. Ini dapat dibuktikan ketika terjadi kerugian pada perusahaan," kutipnya.

Tentu, lanju Hamdani mengutip, faktor-faktor ini harus dibuktikan secara faktual objektif. Nama baik (branding) dan reputasi perusahaan hancur jika label pelanggar HAM tersemat kepadanya. Nilai-nilai HAM diterima sebagai faktor produksi dan standardisasi perilaku perusahaan kepada tenaga kerjanya, dan bukan sebaliknya. Inilah ketimpangan yang kadang terjadi di lapangan.

"Adanya itikad tidak baik baik melalui tindakan, tidak bertindak atau bahkan kelalaian adalah faktor penentu kedua. Ukuran itikad tidak baik merujuk pada ada tidaknya peristiwa faktual melawan hukum positif," lanjutnya.

Hamdani pun menekankan fakta bahwa perusahaan telah menunaikan kewajiban sesuai dengan keputusan (itikad baik) dan adanya potensi kerugian yang diderita juga harus diterima sebagai fakta hukum bagi tertutupnya tuduhan pelanggaran HAM. Fakta ini menghentikan proses selanjutnya di Komnas HAM.

"Pada situasi ini, apakah tersedia mekanisme pemulihan nama baik bagi perusahaan tersebut? Atau, justru pernyataan-pernyataan pelanggaran HAM oleh perusahaan akan tetap ada dan tersimpan dalam benak masyarakat dan di search engine selamanya? Inilah tantangan dan kemungkinan celah hukum yang tidak berimbang pada isu HAM dan sengketa hubungan industrial di Indonesia," urainya melanjutkan pendapat ahli tersebut. (ris)

Editor :