KLIKJATIM.Com | Tulungagung – Sejumlah Kiai di Mataraman menggelar diskusi bertema 'Santri Bicara Demokrasi' di Pondok Pesantren Hidayah Al-Falah Trenceng, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung pada Sabtu 23 Desember kemarin.
Dalam kegiatan tersebut, Kiai dan Cendekiawan muslim perwakilan sejumlah pesantren di kabupaten Tulungagung, Kediri, dan Trenggalek juga hadir, seperti PP Hidayah Alfalah, PPTQ Al Fattah Tanggulwelahan, PP Hidayatul Mubtadiin Ngunut, PP Al Falah Doroampel, PPTQ Al Anwari Aryojeding, PP Darussalam Bandung, Padepokan Seloaji Campur darat, Padepokan Gasmi Bandung, PP Jiradul Ummah Pakel, PP Darul Falah Bendiljati, PP Al Munawwar Pandansari, PP Mbah Doel UIM Satu.
Baca juga: Manfaatkan Momen Mudik, Kantah ATR/BPN Tulungagung Tetap Layani Masyarakat Selama Libur Nataru
Pengasuh Pondok Pesantren Hidayah Al Falah Trenceng, Agus M Alwi Hasan berujar, selain para Kiai Mataraman, diskusi tersebut juga dihadiri beberapa santri dari beberapa kota dan kabupaten yang ada di Jawa Timur.
"Tujuannya demi memberikan edukasi kepada para santri betapa pentingnya memilih seorang pemimpin," ujar Agus Alwi.
Salah satu hal yang dibahas dalam diskusi ini yakni sorotan atas hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai melanggar etika.
Menurutnya, dengan memilih pemimpin yang tepat dan layak, maka bisa terwujud kedamaian dan kesejahteraaan di Indonesia.
"Jadi kami ingin agar para santri ini tidak sekadar ikut-ikutan tetapi memang ada upaya pendekatan yang ilmiah. Tentunya harus tahu kriteria calon yang akan dipilih atau sejarah rekam jejak seseorang yang akan dipilih, Kami, butuh pemimpin yang memiliki kapasitas, hingga latar belakang yang baik dan bersih tentunya juga islami," kata Agus M Alwi Hasan.
Dalam kesempatan itu, Alwi juga memastikan bahwa dalam lingkup pondok pesantren, para santri juga diajarkan tentang demokrasi, namun tidak dipungkiri masih ada saja orang awam yang menganggap jika selama ini santri 'Nderek Kiai' yang berarti apapun perkataan sang guru, selalu diikuti oleh santrinya.
Baca juga: Hadiri Haul Ponpes Al-Ishlah Gresik, Mahfud MD Yakin Kalangan Pesantren Punya Pendirian Kuat Soal KepemimpinanPadahal sebenarnya, para santri juga diajak untuk berfikir supaya demokrasi dan hati nurani ini mampu berjalan seiringan, terutama dalam hal memilih pemimpin yang tepat.
Dengan begitu, kiai dan para santrinya bisa bersama-sama memikirkan kesejahteraan demi keselamatan bangsa.
"Santri ini merupakan perwujudan kebhinekaan, dimana para santri memiliki latar belakang yang beragam. Jadi kami harus mengajarkan demokrasi yang santun bukan yang arogan," jelasnya.
Pihaknya menyinggung soal hasil putusan MK yang dinilai melanggar etika terkait batasan umur capres dan cawapres.
Dalam hal ini, pihaknya juga mengingatkan agar para santri maupun masyarakat awam untuk berhati-hati agar tidak terhasut dengan intrik politik semacam itu.
Bahkan, pihaknya sendiri juga mendapati adanya indikasi ketidak netralan yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) dengan cara melakukan sabotase yang mana hal itu bisa menguntungkan salah satu pasangan calon (Paslon).
"Sebagai contoh kami juga menemukan adanya alat peraga kampanye (APK) salah satu paslon yang dipasang belum genap satu hari kemudian hilang begitu saja. Nah ini mengindikasikan adanya sabotase yang tentunya bisa menguntungkan salah satu paslon," pungkasnya.
Sementara itu, H Abdul Wahab Yahya dari Ponpes Al Muhajirin 2 Bahrul Ulum Tambakberas Jombang yang juga hadir dalam diskusi tersebut berharap, agar para santri bisa benar-benar jernih dalam memilih Presiden Indonesia sesuai dengan kriteria dari nabi, yaitu pemimpin yang memiliki sifat, shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.
"Mungkin pemimpin tidak bisa seluruhnya memenuhi kriteria tersebut, tapi setidaknya mendekati kriteria itu," tuturnya.
Sedangkan Dosen Universitas Islam Kadiri (UNISKA), Moch Wakhid Hasyim yang hadir dalam kegiatan ini mengatakan, pentingnya pemahaman soal simpang siur pelanggaran etika yang dilakukan oleh petinggi MK. Namun secara hukum, hasil putusan MK itu tetap dianggap sah dan legal.
Pasalnya, mengacu pada amanah konstitusi di UU pasal 24 saja ayat 1 menyatakan bahwa MK itu Pengadilan tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum yang lain. Dengan begitu, apapun produk hukum yang dihasilkan dari hasil putusan MK sudah dianggap final dan mengikat.
Baca juga: Polres Tulungagung Selidiki Pengangkutan Solar Fiktif di JLS
"Karena hasil putusan MK sendiri memiliki asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang berarti putusan hakim harus dianggap benar, meskipun secara etika dianggap melanggar," kata Moch Wakhid Hasyim.
Kendati melanggar etika, jelas Wakhid, pihaknya mengajak para santri maupun masyarakat untuk tetap patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku.
"Apalagi di dalam islam sendiri juga mengajarkan tentang hukmul hakim yargaul khilaf atau keputusan hakim itu meniadakan perbedaan pendapat," terangnya.
Kedepan, pihaknya mengajak para santri untuk tetap mengkedepankan demokrasi dimana meski tahu jika hasil putusan MK tersebut cacat etika, namun mau tidak mau harus tetap menerima keputusan tersebut.
"Makanya monggo kepada santri, demokrasi itu adalah hak kita masing masing bagaimana menentukan pilihan kita menggunakan hati nurani. Banyak orang yang punya hati tapi tidak punya nurani," tutupnya. (qom)
Editor : Iman