KLIKJATIM.Com | Gresik — Rentetan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 308 karyawan PT Smelting masih menyisakan persoalan hingga saat ini. Perkara ini kontroversial karena merembet hingga kepemilikan pribadi para buruh.
[irp]
Baca juga: PT Smelting Tebar Kasih Natal 2025, Berbagi Kebahagiaan Bersama Anak Panti Asuhan
Salah satu persoalan yang sampai saat ini berjalan di pengadilan negeri gresik adalah soal piutang salah satu mantan karyawan dengan PT Smelting.
Kasman Danny (44, salah satu mantan Karyawan PT Smelting menceritakan perkara ini bermula. Saat itu dia melakukan mogok kerja lantaran perundingan Perjanjian Kerja Bersama mencapai deadlock. Kemudian menurutnya PT Smelting membalas aksi itu dengan PHK sepihak.
Keputusan PHK inipun dilawan dengan gugatan oleh 304 buruh karena aksi mogok kerja berlangsung dengan damai dan mengikuti peraturan yang berlaku. Gugatan ini meraih kemenangan melalui putusan kasasi di Mahkamah Agung. PT Smelting harus membayar uang pisah dan THR sebanyak 21 Milyar Rupiah kepada mantan buruhnya.
Namun perusahaan belum mau membayar uang tersebut dengan alasan menunggu dua keputusan sidang yang tengah berjalan, yakni tentang adanya wanprestasi atas utang program kredit rumah perusahaan. Ujung sidang itu PT Smelting menang.
“Perusahaan ini menagih kepada kita secara berbeda-beda jumlahnya. Ada yang seratus juta, ada yang puluhan juta, tergantung dari berapa lama kerja di PT Smelting,” ceritanya.
Bekal kemenangan ini yang dipakai perusahaan itu untuk mengirimkan somasi kepada buruh. Mereka meminta permintaan pembayaran pelunasan sisa utang termasuk sisa utang pinjaman bantuan perumahan tanpa disertai bukti surat klaim asuransi.
Buruh kemudian beramai-ramai dan bergantian menggugat perusahaan atas dasar somasi itu. Mereka beranggapan alasan PT.Smelting melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengajukan klaim.
Kasman menjadi salah satu dari 9 orang yang menggugat somasi tersebut dan berujung kekalahan. Akhirnya, pihak PT Smelting pun balik menggugat Kasman soal wanprestasi pembayaran utang.
Pada awalnya PT Smelting hanya mengajukan gugatan mengenai wanprestasi pembayaran tagihan tersebut. Dalam gugatan ini, PT Smelting menuntut ganti rugi sebanyak kurang lebih 88 juta rupiah kepada Kasman atas ganti rugi peminjaman kredit rumah kepada perusahaan, pinjaman darurat, serta pembayaran premi asuransi perusahaan yang telah ditetapkan oleh PN Gresik. Namun, di tengah persidangan tiba-tiba PT. Smelting mengajukan permohonan penyitaan rumah orang tua Kasman sebagai objek sita jaminan.
“Pihak PT Smelting ini mengajukan tiga aset yang diminta kepada hakim. Rumah pribadi saya, mobil pribadi saya, dan rumah orang tua saya. Anehnya, kenapa rumah orang tua saya yang dijadikan objek sita? Padahal jika sita mobil pribadi saya pikir sudah cukup,” tanyanya heran.
Asisten Advokat Firma Hukum Lokataru, Nafirdo Ricky, menganggap putusan PN Gresik yang menetapkan rumah Tjatjik sebagai objek sita aset merupakan keputusan yang janggal.
“Bahwa seharusnya rumah milik Tjatjik Usman Effendy (Orang tua Kasman Danny) tersebut tidak dapat dijadikan obyek sita jaminan oleh Pihak PT Smelting karena Pak Tjatjik bukan merupakan pihak dalam perkara No. 18/Pdt.G.S/2020/PN.GSK antara Kasman Danny dengan PT Smelting,” terangnya menyampaikan pandangan.
Baca juga: PT Smelting Salurkan Bantuan Sembako untuk Korban Banjir di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh
Sementara itu, Kuasa hukum PT Smelting Hamdani, memberikan tanggapan atas persoalan tersebut, menurutnya Kasman Danny dan mantan karyawan yang lain secara pribadi punya hutang dengan perusahaan.
"Dalam perjanjiannya kalau karyawan di-PHK atau mengundurkan diri wajib melunasi," ungkapnya menjelaskan kepada Klikjatim.com (19/02/2021).
Namun, lanjut Hamdani, Kasman tidak segera membayar hutang tersebut, sehingga pihak perusahaan menggugat Kasman.
"Kemudian ditetapkanlah sita, yang disita adalah rumah yang ditempati saat Dia mengajukan hutang. Hakim menetapkan beberapa aset yang seimbang dengan nilai hutangnya. Kalau itu rumah leluhurnya silakan dibuktikan di pengadilan" bebernya.
Meski Kasman dan karyawan yang lain mengikuti asuransi kerugian untuk mencover pinjaman kredit rumah kepada perusahaan dan pinjaman darurat, sebagai jaga-jaga bila sewaktu-waktu ada kebijakan PHK Perusahaan, namun klaim asuransi tersebut tak dapat dicairkan oleh perusahaan asuransi dalam hal ini PT Tripakarta dan Bumiputera karena Kasman dan karyawan lain yang mogok, menurut Hamdani dianggap mengundurkan diri.
"Tidak semuanya PHK ditanggung perusahaan asuransi, Karena dianggap mengundurkan diri sehingga tidak termasuk jenis PHK yang ditanggung perusahaan asuransi. Dan ini dikuatkan oleh putusan yang mempertimbangkan keterangan perusahaan asuransi bahwa pengunduran diri itu tidak dicover asuransi ," jelasnya.
Hamdani pun menanggapi klaim Advokad Lokataru Haris Azhar yang menyebut memiliki bukti bahwa PT Smelting diduga tidak melaporkan hasil produksi (katoda tembaga dan lainnya) kepada negara sebagaimana adanya.
Baca juga: PT Smelting Terima Penghargaan ProKlim 2025 dari Kementerian Lingkungan Hidup
"Sejak 2018 Smelting memperoleh fasilitas kawasan berikat, artinya diawasi oleh bea cukai 24 jam. Pajak, ekspor, impor diawasi pemerintah. Tentang kapasitas produksi, mau ngomong satu tahun satu juta, dua juta kan data yang bicara, bukan statement orang. Yang punya data PT Smelting, yang ngawasi Bea cukai" tegasnya membantah.
Mengenai tudingan BPJS mantan karyawan yang tidak dibayarkan PT Smelting, Hamdani menjelaskan bila hal itu sesuai dengan putusan pengadilan PHI sampai MA yang menyatakan sejak 31 Januari 2017 karyawan yang mogok kerja putus hubungan kerja karena dianggap mundur.
"Aturan BPJS kalau punya karyawan wajib diikutsertakan BPJS dan Bayar iuran, lah ini karyawan saat itu kan sudah tidak bekerja sejak 19 Januari 2017, off mogok tidak sah," ungkapnya.
Bagaimana dengan 50 Orang karyawan yang tidak terdaftar BPJS selama bekerja? Hamdani menjelaskan bila ke-lima puluh orang tersebut tidak setor data untuk didaftarkan BPJS sejak ada ketentuan kewajiban pendaftaran BPJS oleh perusahaan pada 2014.
Saat itu semua karyawan harus mengikuti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, perusahaan pun mengumumkan kepada karyawan agar setor data untuk didaftarkan BPJS kesehatan, namun 50 Orang tersebut tidak setor data dan memilih tetap memakai jaminan kesehatan mandiri yang difasilitasi PT Smelting sebelum adanya kewajiban BPJS.
"Dari 308 karyawan setor semua kecuali yang 50 orang ini, dia (mereka) lupa bahwa dia tidak mau mengikuti, tapi dia pakai program jaminan kesehatan mandiri. Pertanyaannya kenapa tidak setor saat itu? Syarat jadi peserta kan harus ngisi data, harus ada surat nikah KK," beber Hamdani. (ris)
Editor : Abdul Aziz Qomar