KLIKJATIM.Com | Gresik – Penetapan hasil seleksi Panitia Pemungutan Suara (PPS) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gresik, masih menjadi sorotan. Khususnya amanat keterwakilan perempuan minimal 30% berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhoc Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Walikotanya.
Akademisi dari Universitas Gresik (Unigres), Dara Puspitasari, S.H., M.H menjelaskan, amanat PKPU/8/2022 terkait amanat keterwakilan perempuan ini sejatinya bersifat wajib. Hal tersebut merupakan tindakan afirmatif untuk menghindarkan dari diskriminasi.
“Jadi keterwakilan perempuan ini dilakukan terkait kepentingan agar tidak ada diskriminasi atau peran-peran yang didominasi laki-laki. Intinya adalah kesetaraan gender,” papar Dara Puspitasari kepada klikjatim.com, Senin (23/1/2023).
Bahkan, amanat tentang adanya keterwakilan perempuan juga tertuang dalam Undang-undang/17/2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Serta Undang-undang/10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Sehingga dalam proses seleksi Anggota PPS di Gresik pun seharusnya betul-betul memperhatikan amanat PKPU/8/2022. “Tapi kalau tidak diindahkan, berarti tidak dilakukan,” ujar Kaprodi Fakultas Hukum Unigres tersebut.
Ketika disinggung terkait alasan penilaian, Dara mengakui bahwa nilai dari hasil seleksi memang penting. Tapi, KPU seharusnya tetap ada kebijakan dalam mengambil keputusan.
Lebih lanjut dia menyampaikan, jika memang penilaian menjadi tolak ukur utama maka proses penilaiannya pun harus transparan. Artinya perlu menghindari hal-hal yang terkesan tidak terbuka, sehingga bisa mengantisipasi munculnya kekhawatiran terkait praktek dugaan nepotisme di lingkungan KPU Gresik.
“Kalau terkait jumlah pendaftar di desa tersebut tidak ada dari perwakilan perempuannya, berarti yang perlu dievaluasi adalah masalah sosialisasi,” imbuhnya.
Selanjutnya, dia juga menambahkan terkait penerapan hukum agar dapat berjalan maksimal bergantung 3 hal. Yaitu sistem atau produk hukumnya, struktur (pelaksana) dan kultur (masyarakat). “Kalau misalkan para perempuan yang tidak lolos itu karena ‘kepentingan’ tertentu, berarti mereka didzolimi,” pungkasnya.
Terpisah, Aktivis Perempuan asal Gresik, Umi Kulsum meminta para perempuan di daerah setempat untuk berani menyuarakan aspirasinya. “Para perempuan yang mengetahui di desanya tidak ada keterwakilan perempuan dalam keanggotaan PPS, bisa menyampaikan tanggapan masyarakat ke KPU bahkan ke PTUN,” tandasnya.
Dia mengaku sangat menyesalkan masalah kurang terakomodirnya keterwakilan perempuan ini. Harapannya ke depan bisa menjadi evaluasi dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terkait kepemiluan.
Sementara itu, Komisioner KPU Gresik Devisi Sosialisasi dan SDM, Makmun mempersilakan kepada pihak-pihak yang tidak terima untuk melakukan gugatan. Pasalnya, KPU mengklaim sudah menjalankan amanat PKPU 8/2022 terkait keterwakilan perempuan.
“Monggo, silakan saja,” ujarnya, jika memang ada pihak yang ingin menggugat.
Sekedar informasi dari penelusuran media ini di empat kecamatan menyebutkan, banyak keanggotaan PPS terpilih di desa-desa yang tidak ada keterwakilan perempuan. Misalnya di Kecamatan Balongpanggang ada sekitar 6 desa. Antara lain Desa Banjaragung, Jombangdelik, Karangsemanding, Kedungpring, Pinggir dan Sekarputih. Kemudian Desa Tanjungwidoro, Kecamatan Bungah. Serta beberapa desa lainnya di wilayah Kecamatan Cerme, dan Dukun. (nul)