KLIKJATIM.Com | Jakarta – Memasuki musim tanam Oktober 2021- Maret 2022, pemangku sektor pertanian menggodok perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi . Melihat keterbatasan ruang fiskal, terdapat opsi pupuk bersubsidi hanya diperuntukan bagi petani yang memiliki lahan seluas maksimal 1 hektare (ha).
[irp]Direktur Pupuk dan Pestisida Ditjen Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian M Hatta menuturkan salah satu opsi usulan ini dibahas dalam Forum Group Dissucison (FGD) yang turut melibatkan DPR RI dan Ombudsman. Menurut Hatta, dalam dengan opsi tersebut, bagi petani yang memiliki luas lahan melebihi 2 ha atau lebih maka  diharuskan membeli pupuk non bersubsidi.
Hatta menambahkan, alokasi pupuk bersubidi untuk petani yang luas lahan 1 ha  tersebut menjangkau 16,8 juta ha Merujuk data Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (Siluhtan) akan menjangkau 12,7 juta petan dengan kebutuhan pupuk sebanyak 12,07 juta ton dan anggaran pemerintah yang disiapkan sebesar Rp 32,46 triliun.
Sementara jika petani yang luas lahannya maksimal 2 ha juga tetap memperoleh pupuk bersubsidi maka akan menjangkau 17 petani dengan luas lahan pertanian seluas 33,8 juta ha. Hitungan kebutuhan pupuknya sebesar 24,3 juta ton , namun anggaran yang disediakan pun membengkak hingga Rp 65 triliun.
Hatta mengakui, keterbatasan ruang fiskal membuat kesanggupan menyediakan kebutuhan pupuk bersubsidi dalam APBN tahun 2021/2021 maksimal 9,55 juta ton plus 1,5 juta liter pupuk organik cair. Dengan budget maksimal yang disediakan  Rp 32 triliun. “Padahal apabila merujuk usulan sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK) , kebutuhannya mencapai 22,57 juta-26,18 juta ton dengan anggaran Rp 65 triliun,” ujar Hatta dalam webinar forwatan baru baru ini.
Hatta tidak menampik keterbatasan ruang fiskal menyebabkan lima potensi masalah dalam penyaluran pupuk bersubsdi yakni perembesan antar wilayah, isu kelangkaan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani dan alokasi menjadi tidak tepat sasaran. “Dampak lebih lanjutnya produkivitas tanaman menurun karena petani tidak menggunakan tepat waktu dan jumlahnya,” terangnya.
Opsi lainnya adalah untuk petani di Jawa luas lahan penerima pupuk subsidi 1 ha dan luar Jawa 2 ha. Hitungan pemerintah yang akan menerima sebanyak 15,3 juta petani dengan luas lahan 27,4 juta ha. Dengan kebutuhan pupuk subsidi 19,6 juta ton, membutuhkan anggaran Rp 52,6 triliun.
Opsi ketiga adalah berapapun usulan dari petani, pemerintah hanya memfasilitasi seluas 1 ha. Hitunganya jumlah petani 17,05 juta orang dengan luas lahan 33,8 juta ha, kebutuhan pupuk 18,5 juta ton atau setara Rp 51,1 triliun. “Ini upaya kedua agar bagaimana petani yang menikmati pupuk subsidi bertambah,” ujar Hatta.
Usulan lain yang dibahas dalam FGD tersebut, sebut Hatta adalah mengintegrasikan data petani dan luas lahan terintegrasi Simluhtan. Jadi sebelum masuk RDKK, data masuk terlebih dahulu di Simuluhtan. Untuk memperbaik data, diusulkan juga menambah koordinat lahan yang difasilitasi pupuk subsidi. Selain itu, membatasi dosis pupuk sesuai rekomendasi Badan Litbang Pertanian.
Hatta mengatakan, usulan ketiga dari pemerintah adalah menetapkan komoditas prioritas. Selama ini yang mendapat pupuk subsidi mencangkup 70 jenis komoditas. Namun diusulkan hanya 17 komodtas yang bisa difasilitasi. “Pemilihan prioritas berdasarkan kebutuhan pokok, komoditas utama pertanian, luas tanam dan dampak terhadap inflasi,” ujarnya.
Untuk komoditas hortikultura yakni cabai, kentang, bawang merah dan bawang putih. Komoditas tanaman pangan adalah padi, jagung dan kedelai. Sedangkan komoditas perkebunan yaitu, kopi, kakao, kelapa, lada, cengkeh, tebu, pala dan tembakau. Sementara peternakan diberikan untuk petani yang menanam rumput pakan.
“Untuk perikanan, khususnya subsektor petani tambak diusulkan difasilitasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jadi kita tambah penerima subsidi, namun mempersempit komoditas prioritas yang akan terima pupuk subsidi,” tuturnya.
Usulan keempat terkait jenis pupuk yang disubsidi hanya urea dan NPK. Dengan hitungan volume urea sebanyak 5.610.392 ton dan NPK sebesar 8.537.88 4 ton, total pupuk yang disubsidi sekitar 14.148.276 ton. Dengan demikian nilai subsidinya sebesar Rp 50,02 triliun. Perinciannya subsidi urea sebanyak Rp 18,47 triliun dan NPK Rp 31,55 triliun.
“Alternatif ini masih sebatas usualan, hanya urea dan NPK yang disubsidi. Jadi ke depan hanya dua jenis pupuk yang disubsidi,” ujarnya.
Dari empat usualan tersebut Hatta mengakui, belum ditetapkan, karena hingga kini Panja Pupuk Subsidi DPR RI belum memutuskan. Namun jika sampai akhir Nopember belum ditetapkan, maka pemerintah akan tetap kebijakan yang berlaku tahun 2021 akan dilanjutkan pada tahun 2022. (ris)